JENIS-JENIS KONTEKS WACANA
Sejak
awal 1970-an, para linguis sadar akan pentingnya konteks dalam menafsirkan berbagai
macam kalimat (Arifin dan Rani, 2006: 166). Konteks merupakan situasi atau
latar terjadinya suatu komunikasi (Mulyana, 2005: 21). Konteks sangat
menentukan makna suatu ujaran. Bila konteks berubah, berubah juga makna suatu
ujaran. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu
pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan sangat
bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Beberapa
konsep yang berkaitan dengan konteks wacana yang diperlukan dalam analisis
wacana akan dibahas sebagai berikut.
1.
Praanggapan
Praanggapan
merupakan asumsi-asumsi atau inferensi yang tersirat dalam ungkapan linguistik
tertentu (Cummings, 2007: 42). Selanjutnya, Yule (2006: 33) menyatakan,
praanggapan sebagai asumsi penutur sebelum membuat ujaran. Mulyana (2005: 14)
mengungkapkan, anggapan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang
menjadikan bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar atau pembaca disebut
praanggapan. Sama halnya dengan Chaer (2010: 32) yang menyatakan praanggapan
sebagai pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur yang
melatarbelakangi suatu tindaktutur. Jadi, praanggapan merupakan asumsi yang
dipikirkan oleh penutur sebelum ia menyampaikan pesan kepada mitra tutur atau
pendengar.
Filmore (dalam
Arifin dan Rani, 2006: 145) mengemukakan, “dalam setiap percakapan selalu
digunakan tingkatan-tingkatan komunikasi yang implisit atau praaggapan dan
eksplisit atau ilokusi”. Contohnya, ujaran dapat dinilai tidak relevan atau
salah bukan hanya dilihat dari segi cara pengungkapan peristiwa yang salah
pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat peranggapan yang salah.
Kesalahan
membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Semakin tepat
praanggapan yang dihipotesiskan, semakin tinggi pula nilai komunikasi suatu
ujaran. Praanggapan dapat diketahui benar tidaknya dengan ungkapan kebahasaan
yang dapat diketahui dan diidentifikasi melalui ujian kebahasaan khususnya
dengan ketetapan dalam peniadaan tetap kebenarannya walaupun kalimatnya
dihilangkan (Lubis, 2011: 62). Berikut contoh pernyataan tersebut.
Kuliah
Wacana dijadwalkan pada Kamis.
Praanggapan atas pernyataan tersebut
adalah:
(a) Ada kuliah Wacana
(b) Ada semester 6
Selanjutnya,
contoh sebelumnya jika dinegatifkan menjadi: Kuliah Wacana tidak dijadwalkan
pada Kamis. Praanggapan atas pernyataan tersebut tetap sama. Strawson (dalam
Lubis, 2011: 62) menyatakan suatu pernyataan A berpraanggapan B apabila:
(a) A benar, B
benar
(b) A tidak
benar, B benar
Praanggapan
tersebut merupakan praanggapan pragmatik. Levinson (dalam Nadar, 2013: 66)
mengungkapkan praanggapan pragmatik mengandung dua hal pokok, yaitu kesesuaian
atau kepuasan dan pemahaman bersama. Pernyataan tersebut mendefinisikan suatu
ungkapan A berpraanggapan B jika A adalah sesuai dan jika B sama-sama dietahui
oleh partisipan. Jadi, apabila kalimat yang dipakai tidak wajar atau sesuai dan
praanggapannya tidak diketahui pendengar, kalimat tersebut tentu tidak akan
dipahaminya. Oleh karena itu, pembicara sebaiknya membuat kalimat dengan
praanggapan yang dapat diketahui pendengar agar pendengar dapat memahami ucapan
pembicara.
Selanjutnya,
dari sisi pendengar tentu ingin menarik sebuah praanggapan dari pernyataan yang
diungkapkan oleh pembicara. Arifin dan Rani (2006: 147) menyatakan “praanggapan
adalah sesuatu yang dijadikan oleh si penutur sebagai dasar penuturannya”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, cara menarik praanggapan dapat dilihat melalui
contoh ujaran berikut.
(a) kami tidak
jadi pulang kampung.
(b) hari selasa
ujian.
Secara
otomatis kata-kata yang dipakai pembicara dapat ditarik praanggapan:
Kata
tidak jadi memberi arti bahwa kami seharusnya pulang kampung.
Selanjutnya, kata ujian membawa
praanggapan ada ujian. Jadi, praanggapan kedua kalimat tersebut adalah (a) kami
seharusnya pulang kampung dan (b) ada ujian.
2.
Implikatur
Dalam
lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi
bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan
yang menghubungkan sesuatu yang diucapkan dengan yang diimplikasikan (Mulyana,
2005: 11). Sama halnya dengan Chaer (2010: 33) yang menyatakan, implikatur
merupakan keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tutur. Jadi,
suatu dialog yang mengandung implikatur akan melibatkan penafsiran yang tidak
langsung. Levinson (dalam Lubis, 2011: 73) menyatakan empat faedah konsep
implikatur, yaitu:
a. dapat memberikan penjelasann makna atau fakta-fakta kebahasaan
yang tak terjangkau oleh teori linguistik;
b. dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah
dari yang di maksud pemakai bahasa;
c. dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang
hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama;
d. dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah terlihat
tidak berkaitan, tetapi berlawanan.
Grice
(dalam Mulyana, 2005: 12) menyatakan, ada dua macam implikatur, yaitu
implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional
ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Semua orang umumnya
sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian hal tertentu, misalnya:
Dia orang Medan,
oleh karena itu dia bicara lantang.
Contoh
tersebut tidak secara langsung menyatakan suatu ciri (bicara lantang) disebabkan
oleh ciri lain (jadi orang Medan), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara
konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang
dimaksud itu orang Medan dan tidak bicara lantang, implikaturnya yang keliru,
tetapi ujarannya tida salah.
Sementara
itu, implikatur percakapan muncul dalam satu tindak percakapan dan bersifat
temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), berikut contohnya.
Ibu: Rani, adikmu belum pulang.
Rani: Ya, Bu. Saya ambil jaket dulu.
Percakapan
Ibu dan Rani tersebut mengandung implikatur yang bermakna “perintah menjemput”.
Tuturan itu berbentuk kalimat perintah. Ibu hanya memberitahukan “adik belum
pulang”. Namun, Rani dapat memahami implikatur yang disampaikan ibunya, ia
menjawab dan siap untuk melaksanakan perintah ibunya.
Grice membedakan
dua macam makna, yaitu natural meaning atau makna alamiah dan non-natural
meaning atau makna non-alamiah. Rumus Grice tentang makna tersebut sebagai
berikut.
B bermaksud makna nn sebagai Z dengan
mengungkapkan U kalau:
(1) B bermaksud menyebabkan terjadinya efek
Z pada penerima D
(2) B bermaksud (i) akan terjadi dengan
kesadaran saja oleh D akan adanya maksud (i)
B
adalah pembicara dalam hal komunikasi lisan dan pengirim; D adalah pendengar
atau penerima; “mengungkapkan U” merupakan pengungkapan satu isyarat
linguistik, yaitu: bagian dari kalimat, kalimat atau rangkaian kalimat, atau
rangkaian bagian kalimat; dan Z adalah pengetahuan kemauan yang ditimbulkan D
(Lubis, 2011: 75).
Implikatur
percakapan mengutip prinsip kerja sama atau kesepakatan bersama untuk dapat
menggunakan bahasa secara berhasil dan berdaya guna. Dalam penerapannya,
prinsip kerja sama ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut bidal-bidal
kesepakatan atau maksim. Maksim-maksim tersebut adalah:
a. maksim kuantitas, bermaksud agar kita berbicara seperlunya saja
dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak perlu;
b. maksim kualitas, berarti
jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar atau tidak mempunyai bukti yang
cukup;
c. maksim relasi, berarti kita berbicara sesuai dengan yang
dipermasalahkan;
d. maksim cara, supaya kita berbicara yang jelas (Lubis, 2011: 76).
3.
Inferensi
Gumperz
menyatakan inferensi atau penarikan simpulan ditentukan oleh situasi dan
konteks percakapan sehingga pendengar menduga kemauan penutur dan meresponsnya
(Arifin dan Rani, 2006: 161). Pembaca atau pendengar harus dapat mengambil
pengertian, pemahaman, atau penafsiran suatu makna tertentu. Dapat dikatakan,
pembaca harus mampu mengambil simpulan sendiri, meskipun makna tersebut tidak
terungkap secara eksplisit. Selanjutnya, Cummings (2007: 105) menyatakan,
proses inferensi merupakan proses yang dapat digunakan oleh lawan bicara untuk
memperoleh implikatur-implikatur dari ujaran penutur yang dikombinasikan dengan
ciri-ciri konteks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa inferensi merupakan proses
penarikan simpulan yang digunakan pendengar terhadap ujaran yang disampaikan
penutur dan simpulan tersebut ditentukan oleh situasi dan konteks.
Wacana
lisan yang bersifat dialogis (percakapan) tidak hanya menentukan oleh
aspek-aspek formal bahasa dalam makna ujaran, melainkan oleh konteks
situasional. Dengan cara itu, pendengar dapat menduga maksud dari pembicara,
dan dengan itu pula pendengar dapat memberikan responsnya. Di samping aspek konteks
situasional, aspek sosio-kultural juga menjadi faktor penting dalam memahami
wacana inferen, sebagai contoh:
A: Wah, sudah
masuk kota. Kita cari dodol dulu.
B: Langsung ke
ibu Nurjannah saja!
Kota
yang di maksud dalam percakapan tersebut adalah Kota Kandangan. Penjelasan itu
dipastikan benar, karena secara kultural Kandangan dikenal sebagai kota sentra
pembuatan dodol. Lebih jelas lagi, jawaban B yang menekankan “Ibu Nurjannah”
yang memang dikenal sebagai pembuat dodol yang enak. Proses inferensi itu yang
harus dilakukan pendengar atau pembaca untuk mendapatkan simpulan yang jelas.
Apabila
terdapat perbedaan antara si penutur dan pendengar, baik dalam bidang sikap,
latar belakang maupun status mereka, kemungkinan penarikan simpulan yang salah
akan terjadi. Berikut contohnya.
(a)
Rafa berangkat ke rumah sakit
kemarin
(b)
Dia benar-benar cemas dengan
operasi pemisahan kembar siam
Kebanyakan orang
yang membaca kedua kalimat tersebut akan menganggap Rafa adalah orang tua bayi
kembar siam. Karena informasi itu tidak langsung dinyatakan di dalam teks,
informasi itu disebut sebagai inferensi. Aspek inferensi yang menarik adalah
bahwa inferensi itu merupakan sebuah penafsiran yang mudah hilang dari pembaca
jika tidak cocok dengan informasi berikutnya. Kalimat berikutnya dari contoh di
atas sebagai berikut.
(c)
Minggu lalu dia gagal melakukan
operasi.
Setelah
mengetahui kalimat tersebut, kebanyakan pembaca memutuskan bahwa Rafa adalah
seorang dokter bedah dan dia kurang bahagia.
v UNSUR-UNSUR KONTEKS
Hymes (1972) merumuskan dengan baik ihwal
faktor-faktor penentu peristiwa tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING.
Delapan faktor tersebut sebagai berikut.
1)
Setting
‘latar’ dan scene
‘suasana’, latar lebih bersifat fisik, meliputi tempat dan waktu terjadinya
tuturan. Scene merupakan latar psikis yang mengacu pada suasana psikologis.
2)
Participants
‘partisipan’, mengacu pada peserta yang terlibat dalam
komunikasi, misalnya penutur dan petutur atau penulis dan pembaca.
3)
Ends
‘hasil’, yang mengacu pada tujuan dan hasil komunikasi.
4)
Act
sequences ‘pesan’, mengacu pada bentuk dan isi pesan.
5)
Keys
‘cara’, mengacu pada cara ketika melakukan komunikasi,
misalnya komunikasi dilakukan dengan
cara yang serius, santai dan lain-lain.
6)
Instrumentalities
‘sarana’, yang mengacu pada sarana yang dipakai dalam
menggunakan bahasa, yang meliputi (a) bentuk bahasa yaitu lisan atau tulisan
dan (b) jenis tuturannya, yaitu dengan bahasa standar atau dengan dialek
tertentu.
7)
Norms
‘norma’, yang mengacu pada perilaku partisipan dalam
berinteraksi.
8)
Genre
‘jenis’, yang mengacu pada tipe-tipe teks seperti dongeng,
iklan dan lain-lain (dalam Mulyana, 2005: 23).
Berikut ini adalah contoh kedelapan unsur konteks
wacana yang telah disebutkan di atas.
Pukul enam sore, Desa Sukamaju sudah tampak sunyi
seperti kuburan. Terpaksa aku mnutup pintu rumah. Masuk, dan tiduran. Aku
terbangun jam tiga pagi dan mendengar suara gaduh di dapur. Ternyata aku
melihat ibu sudah sibuk memersiapkan barang dagangan.
“Ibu masak apa untuk dijual hari ini?” tanyaku pada
ibu.
“Masak sayur asem dan sayur lodeh, Nak” jawab ibu.
“Semoga dagangan ibu hari ini laku terjual habis, ya
Bu!”
“Amin. Nak, kamu harus belajar yang rajin ya agar jadi
orang yang sukses.”
“Iya, saya akan belajar dengan
sungguh-sungguh agar dapat mewujudkan keinginan ibu. Doakan saya selalu ya,
Bu”.
“Iya, Nak, di setiap doa ibu selalu teserta namamu”.
Pada contoh dating aspek setting tempat terlihat pada kata Desa Sukamaju dan dapur. Setting waktu terlihat pada jam tiga pagi. Kemudian, partisipannya
adalah ibu dan anak. Tujuan akhir pembicaraan atau ends ditujukan oleh perkataan ibu terhadap anaknya yang
menginginkan anaknya itu sukses di masa depan. Act atau bentuk pesan yang ada pada contoh tersebut adalah bentuk
nasehat. Selanjutnya, cara (key) yang
ditunjukkan adalah pembicaraan yang serius dengan sarana (instrumentalities) lisan. Pesan yang disampaikan si ibu adalah
norma yang halus. Genre atau jenis
contoh datas adalah jenis fiksi prosa.
v
CIRI-CIRI
KONTEKS
Hymes
(dalam Lubis, 2011: 87) mencatat tentang ciri-ciri konteks yang relevan sebagai
berikut.
1)
Advesser
(pembicara) dan Advesse (pendengar)
Mengetahui si pembicara dan
pendengar atau yang disebut partisipan pada suatu situasi akan memudahkan untuk
menginterpretasikan pembicaraannya. Berkaitan dengan partisipan perlu diperhatikan
latar belakang partisipan untuk memudahkan penginterpretasian penuturannya
(Arifin dan Rani, 2006: 169).
2)
Topik pembicaraan
Dengan mengetahui topik
pembicaraan, akan memudahkan seseorang yang mendengarkan untuk memahami
pembicaraan.
3)
Setting
(waktu, tempat)
Yang di maksud setting
adalah waktu dan tempat pembicaraan yang dilakukan. Termasuk juga hubungan
antara si pembicara dan pendengar, gerak-gerik tubuh, dan gerak-gerik roman
mukanya.
4)
Channel
(penghubungnya: bahasa tulisan, lisan, dan sebagainya)
Channel
berfungsi untuk memberikan informasi pembicara dengan cara, baik lisan, tulisan
telegram, dan lain-lain. Pemilihan channel
bergantung pada beberapa faktor (kepada siapa ia bicara dan dalam situasi, baik
dekat maupun jauh).
5)
Kode (dialeknya, stailnya)
Jika channel-nya
lisan, kode yang dapat dipilih yaitu antara salah satu dialek bahasa itu.
Terasa aneh jika ragam baku dipakai untuk tawar menawar dan ragam tidak baku
untuk berkhutbah. Pemilihan kode bahasa yang tidak tepat sangat berpengaruh
pada efektifitas komunikasi.
6)
Massage
from (debat, diskusi, seremoni agama)
Pesan yang hendak disampaikan harus tepat karena
bentuk pesan ini bersifat fundamental dan penting. Bentuk itu haruslah umum
jika pendengarnya banyak dan bentuk pesan itu khusus jika ditujukan terhadap
pendengar tertentu.
7)
Event
(kejadian)
Kejadian yang di maksud adalah peristiwa tutur
tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur, misalnya pidato, percakapan, seminar,
dan sidang pengadilan.
Berdasarkan ciri-ciri
konteks yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa komponen-komponen
pembicaraan itu satu dengan yang lain saling berkaitan.
v
JENIS-JENIS
KONTEKS
Jenis konteks diklasifikasikan
Preston (dalam Mulyana, 2005: 24) dengan unsur-unsur penentu percakapan (SPEAKING) di atas. Klasifikasi tersebut,
yakni.
1)
Konteks dialektal = a) partisipan
b)
jenis wacana
2)
Konteks diatipik = a) latar
b)
hasil
c)
amanat
3)
Konteks realisasi = a) sarana (saluran)
b)
norma
c)cara
berkomunikasi
Pendapat lain
justru mengemukakan konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat
macam, yaitu.
a.
Konteks fisik yang meliputi tempat
terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi.
b.
Konteks epistemis, latar belakang
pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tuturnya.
c.
Konteks linguistik yang terdiri
atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang mendahului dan mengikuti ujaran
tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi, konteks linguistik ini disebut juga
dengan istilah konteks.
d.
Konteks sosial, relasi
sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam
percakapan (Syafi’i dalam Lubis, 2011: 60).
Keempat konteks itu memengaruhi
kelancaran komunikasi. Mula-mula kita lihat betapa pentingnya konteks
linguistik karena kita dapat memahami dasar tuturan dalam suatu komunikasi.
Tanpa pengetahuan struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat tentu komunikasi
tidak berjalan lancar. Pengetahuan struktur bahasa tidak cukup tanpa
pengetahuan kontak fisiknya, ditambah pengetahuan konteks sosial dan konteks
epistemiknya. Berikut ini adalah contoh keempat jenis wacana yang telah
disebutkan di atas.
Konteks:
Pembicara: seorang ibu
Pendengar: mahasiswi
Tempat: puskesmas
Situasi: mahasiswi menunggu temannya yang sedang diperiksa oleh
dokter. Ada seorang ibu duduk di sebelahnya.
Waktu: 10.00 WITA
Ibu: siapa yang
sakit?
Mahasiswi: teman
saya, Bu.
Ibu: oh, sakit apa?
Mahasiswi: batuk. Ibu
sendiri?
Ibu: mau periksa
mata, De.
Mahasiswi: matanya
minus ya, Bu?
Konteks linguistik terlihat pada
tuturan seorang ibu yang menggunakan kalimat tanya. Si mahasiswi lalu menjawab
karena si ibu bertanya. Selanjutnya konteks
fisik terlihat dari pertanyaan si ibu “siapa yang sakit?” dan pernyataan
si ibu “mau periksa mata, De”, hal tersebut menandakan partisipan sedang berada
di instansi kesehatan. Jawaban mahasiswi yang menggunakan kata “saya”
menandakan bahwa dia bersikap sopan karena lawan bicaranya lebih tua darinya.
Hal tersebut merupakan konteks sosial. Konteks pengetahuan terlihat pada saat
si ibu menyatakan ingin periksa mata dan mahasiswi menjawab dengan pertanyaan
“matanya minus ya, Bu?” Itu menandakan adanya pengetahuan tentang topik yang
dibicarakan.
Daftar
Rujukan:
Arifin, Bustanul dan Abdul Rani. 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam
Pemakaian. Malang: Bayu Media Publishing.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, Louise. 1999. Pragmatik:
Sebuah Perspektif Multidisipliner. Terjemahan Eti Setiawati, dkk. 2007.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, A. Hamid
Hasan. 2011. Analisis Wacana Pragmatik.
Bandung: Angkasa.
Mulyana. 2005. Kajian
Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nadar, F.X. 2013. Pragmatik
& Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yule, George. 1998. Pragmatik.
Terjemahan Jumadi. 2006. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.